Kebijakan menaikkan PE CPO untuk menstabilkan harga minyak goreng didalam negeri bukan merupakan kebijakan yang efektif. Karena kebijakan ini hany bersifat reaktif, bukan proaktif dan sama sekali tidak menyentuh substansi permasalahan fluktuasi harga minyak. Permasalahan harga bukan sekedar masalah jumlah demand dan suply. Memang benar, ketidakseimbangan suply dan demand berpengaruh pada harga. Tapi sistem pasar yang berlaku adalah aktor dan faktor sundamental dalam penentuan harga. Harusnya pemerintah tidak melulu mengatur keseimbangan suply-demand melalui pengaturan PE maupun kebijakan impor (seperti kasus beras). Tapi harusnya pemerintah mengambil kebijakan yg lebih substasiil, yaitu intervensi sistem pasar. Diantaranya intervensi pengaturan distribusi minyak, pemberlakuan tata niaga yang taat hukum (menindak pemain pasar yg curang), penguatan industri hulu bidang CPO (minyak dan turunanya). Kebijakan penyeimbangan suply-damand melalui pengaturan ekspor dan impor komoditas menunjukkan kegagalan pemerintah mengatasi permasalahan tersebut. Dan hanya menunjukkan kepanikan pemerintah terhadap masalah ini. Kebijakan seperti ini hanya akan menjadi sebuah lingkaran setan yg tidak akan pernah selesai.
Independent Futures <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Pro-kontra sikapi kenaikan PE CPO jadi 6,5%JAKARTA: Kalangan pengusaha kelapa sawit berbeda pendapat dalam menyikapi rencana pemerintah menambah pungutan ekspor (PE) crude palm oil (CPO)? 5%. PE tambahan itu akan dikenakan jika hingga akhir Juni harga minyak goreng masih di atas Rp7.000 per kg. "Bila akhir Juni tidak ada perubahan, kami akan mengenakan PE tambahan 5% (PE sekarang 1,5%)," ujar Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu seusai mengikuti Rapat Kabinet Terbatas tentang persiapan pemerintah menghadapi konferensi perubahan iklim global, di? Jakarta, kemarin. Dia mengemukakan kebijakan ini merupakan lanjutan dari program stabilisasi? harga (PSH) minyak goreng yang dilakukan beberapa minggu ini. Kenaikan PE, jelasnya, menjadi salah satu upaya pemerintah menyeimbangkan harga minyak goreng. Menanggapi rencana pemerintah itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mendukung kenaikan PE 5%, asal untuk CPO saja. "Jika hal itu [kenaikan PE] jalan yang terbaik tidak apa-apa, asalkan harga domestik [minyak goreng] turun dan dikhususkan pada CPO saja." Jika kenaikan PE itu berorientasi pada penurunan harga minyak goreng dalam negeri dan tidak menekan harga di tingkat pembelian tandan buah segar petani (TBS). Kedua, PE tambahan dapat menahan laju ekspor dan pemerintah harus berorientasi pada peningkatan indusri turunan CPO agar tidak semata-mata mengekspor komoditas tersebut. "Sasarannya harus jelas, yakni untuk menarik investor agar bisa membuat prosesor atau downstream [industri turunan] karena adanya bahan baku, sehingga memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat." Sebaliknya, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun justru menolak kenaikan PE. Alasannya, kenaikan PE itu justru tidak efektif dan lebih baik dioptimalkan program stabilisasi harga (PSH) dan dilanjutkan DMO. "Dengan PE itu [kenaikan 5%] masih akan tinggi [harga minyak goreng], dan masih dibutuhkan subsidi. Bukan PE kurang tinggi, tapi justru akan menekan harga tandan buah segar [TBS] di tingkat petani." Menurut dia, sebaiknya pemerintah tidak mengumumkan rencana? PE karena justru akan menaikkan harga CPO dunia dan akan menimbulkan PSH tidak berjalan maksimal akibat tekanan harga dunia yang semakin tinggi. Namun, Sahat membantah jika kenaikan PE 5% akan menekan TBS di tingkat petani. Karena, saat ini masing-masing pemerintah daerah menerapkan harga pembelian TBS berdasarkan harga kenaikan CPO dunia. Namun, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad, menegaskan kenaikan PE justru akan membunuh petani kelapa sawit skala kecil di dalam negeri karena tidak lagi memperoleh keuntungan. Kenaikan PE dikhawatirkan merugikan petani. Sebab setiap kenaikan 1% PE CPO menurunkan harga TBS US$0,14 per ton. "Kalau naiknya 5%, hitung saja berapa yang harus ditanggung petani."? Bustanul Arifin, Pengamat Pertanian Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengusulkan penerimaan negara hasil dari PE CPO yang baru sebesar 6,5% sebagian dapat dialokasikan ke investasi hilir serta R&D minyak sawit dari hulu ke hilir. (M02, Aprika Rani Hernanda, Lutfi Zaenudin) Oleh Erna S. U. Girsang, Gajah Kusumo Bisnis Indonesia --------------------------------- You snooze, you lose. Get messages ASAP with AutoCheck in the all-new Yahoo! Mail Beta. [Non-text portions of this message have been removed] --------------------------------- Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru! [Non-text portions of this message have been removed]