Mendiagnosis Penyakit Layu Bakteri Penyakit layu bakteri, hingga saat ini, masih merupakan faktor pembatas produksi tanaman utama seperti pada kacang
tanah, tomat, dan kentang. Penyakit tersebut disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum yang bisa menempel pada lebih 200 jenis tanaman inang. Keragaman patogen yang demikian luas menyebabkan penyakit tersebut sulit ditangani. Berdasarkan data dari Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) bahwa serangan penyakit tersebut mampu menyerang tanaman dengan intensitas hingga 35 persen. Patogen yang Rumit Peneliti Balitbantan, Yadi Suryadi, mengatakan bahwa penyakit layu bakteri sulit ditangani karena pengelompokan patogen yang rumit. Dengan sebaran inang yang luas maka penanganan penyakit yang menimpa suatu tanaman belum tentu cocok diterapkan untuk tanaman lainnya. Selama ini para peneliti menggunakan dua sistem berbeda dalam mengelompokan P. solanacearum yakni sistem ras dan biovar. Menurut M Mahmud dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian (Balitbiogen), bedasarkan inangnya ada lima kelompok ras P. solanacearum. Meskipun inangnya sama sangat mungkin isolat patogennya berbeda. Sebagai contoh isolat P. solanacearum asal jahe dan kacang tanah tidak patogenik terhadap kecipir atau sebaliknya. Sementara berdasarkan biovar atau biotipe ada empat biotipe isolat P. solanacearum. Deteksi dan identifikasi patogen sangat diperlukan untuk mencegah kerusakan tanaman akibat penyakit tersebut. Mengetahui sifat dan karakteristik masing-masing isolat patogen akan mempermudah pengendalian penyakit layu bakteri. Menurut Yadi, ada beberapa cara untuk mendeteksi penyakit layu bakteri. Belakangan dikenal dua teknik identifikasi baru berdasarkan reaksi fisiologi atau biokimia yang dirakit menjadi sistem bactid dan biolog. Sistem bactid digunakan untuk memudahkan mengeliminasi pencemar saprofit atau mikroorganisme nonsasaran lainnya. Sedangkan sistem biolog mengelompokkan berdasarkan taksa dan kemudian menelaah sifat dan karakteristik setiap taksa. Cara lain yang juga banyak dikembangkan adalah dengan pengelompokan berdasarkan karakteristik protein dan asam lemak yang dikandung masing-masing isolat patogen. Selain memerlukan banyak waktu penggunaan teknik atau cara-cara tersebut tidak menjamin memberikan hasil yang optimal. Selama ini pengendalian penyakit layu bakteri tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Dengan demikian diperlukan sebuah teknik identifikasi baru yang lebih efisien dan akurat. Merespons hal tersebut, para peneliti Balitbiogen saat ini mengembangkan metode pendekatan biologi molekuler untuk mengidentifikasi patogen. Cara tersebut mengidentifikasi patogen dengan melihat pola sidik jari DNA atau RNA. Pelacakan DNA tidak memerlukan pemurnian dan perbanyakan bakteri telebih dahulu sehingga lebih cepat dan efisien. Informasi berdasarkan pola DNA selanjutnya dijadikan dasar untuk memberikan tindakan apa yang paling tepat pada setiap isolat patogen. Namun, tidak mudah menerapkan teknik tersebut di Indonesia. Menurut Machmud, ada beberapa kendala dalam penerapan teknologi tersebut di Indonesia. Antara lain minimnya pengalaman peneliti dalam penggunaan biologi molekuler sehingga bisa menyebabkan rendahnya akurasi, fasilitas laboratorium yang belum memadai, serta penggunaan bahan radioaktif. Ketidakstabilan Imunitas Penggunaan bahan radioaktif bisa berisiko pada kesehatan dan ketidakstabilan imunitas tanaman. Akan tetapi, menurut Machmud, sebetulnya saat ini zat nonradioaktif sudah banyak digunakan untuk melacak DNA. Sehingga kekhawatiran akan adanya risiko terhadap kesehatan tidak perlu terjadi lagi. Namun demikian menurut tokoh LSM yang banyak mengaji masalah pertanian, Nugroho Wienarto, penggunaan teknik pelacakan DNA harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. Selain risiko terhadap kesehatan, jangan sampai cara tersebut malah menghasilkan patogen yang jauh lebih berbahaya. Pengembangan teknik baru yang lebih efisien dalam mengendalikan hama memang sangat penting dan diperlukan. Namun menghindari bahaya sebagai akibat dari cara tersebut juga sebuah prinsip yang sangat penting. Untuk itu sebelum diimplementasikan, harus dilakukan uji kelayakan yang sangat ketat. Dengan demikian, upaya meningkatkan produksi pertanian dengan mengendalikan hama tidak malah menimbulkan dampak baru yang lebih buruk. Penulis : (SE/B-12)