Ada banyak ragam sate dijual di Jakarta. Sate madura, sate solo, 
sate padang, sate sapi, sate lilit, dan sebagainya. Namun, selain 
sate dari pelosok tanah air, ternyata di pelosok Jakarta terselip 
sate dari seberang samudra. Kedai milik H. Ismail Coulibaly di 
kawasan Tanahabang ini terkenal dengan nama kedai sate afrika. 
Maklumlah, H. Ismail berasal dari Mali, Afrika. Di kedainya, Ismail 
menjual sate domba ala negeri leluhurnya itu. Untuk mencicipi 
bakaran daging domba ini, Anda harus menyusuri gang yang terletak 
antara Museum Tekstil dan kantor Indonesia Power. Warung yang sudah 
berusia tujuh tahun ini menempati lahan seluas 3 m x 7 m, yang 
dibatasi pagar dinding setinggi pinggang. Setengah dari lahan 
digunakan untuk menaruh tungku api, selebihnya ada meja sepanjang 
tiga meter untuk menampung pembeli. Selain itu, ada dua meja dan 
empat bangku tambahan di luar pagar pembatas. "Semua ini hanya muat 
dua puluh orang," kata Herman, pengelola Kedai Sate Afrika. 
Saban hari, kedai sate ini menerima pasokan daging domba dari 
Cipanas. Jumlahnya tiga ekor domba minus kepala dan kulit. Setiap 
Selasa dan Jumat, Haji Ismail meminta tambahan seekor domba lagi, 
karena warungnya ramai. "Umur domba yang kami minta maksimal 
sembilan bulan," ujar Herman. Selain itu, berat maksimal domba 
dibatasi 20 kg saja, tidak lebih. "Biar lebih empuk," sambungnya. 
Tiap ekor domba, menurut Herman, bisa menjadi 28 porsi sate afrika. 
Sebenarnya, yang dijual di kedai ini bukanlah sate seperti lazimnya. 
Maklum, kita tidak akan menemukan tusukan bambu di sini. Daging 
domba hanya dipotong dengan bobot sekitar enam sampai tujuh ons. 
Tanpa diberi bumbu apa pun, daging itu dibakar sekitar satu jam. 
Selesai dibakar, barulah daging direbus dalam panci besar selama 
satu jam juga. "Proses ini untuk menghilangkan minyak dan mengurangi 
kolesterol," celetuk Herman. Minyak hasil rebusan domba kadang bisa 
mencapai setengah kilogram banyaknya. Kecap khusus untuk versi 
Indonesia Daging domba dalam panci itulah yang akan dijumpai para 
pembeli di sini. Setelah pembeli memesan, baru Herman atau rekan 
lainnya mencacah daging tersebut dan menaruhnya lagi di bakaran. 
Belum cukup, daging cacahan akan direbus dalam bumbu dan dibakar 
sekali lagi. "Lebih enak disajikan pas hangat-hangatnya," kata 
Herman 
Nah, melongok proses pemasakan dan penampilannya, Anda pasti 
bingung, kan, dari mana sebutan sate itu berasal? Konon, menurut 
Herman, awalnya Haji Ismail menggunakan nama asli hidangan khas Mali 
ini. Hanya, ternyata banyak pembeli yang tidak bisa mengucapkannya 
dengan fasih. Itu sebabnya, dagangan Haji Ismail lantas terkenal 
dengan dua kata yang gampang saja: sate afrika. Pembeli yang memesan 
sate domba akan mendapatkan tiga buah piring. Satu piring berisi 
daging domba siap santap dengan irisan bawang bombay serta bumbu. 
Piring lain berisi pengiring daging domba, berupa kecap, mustard, 
dan cabe. Meski resep aslinya tidak mengenal kecap, Haji Ismail 
tetap menyediakannya demi lidah lokal Indonesia. Teman untuk 
menyantap sate afrika bukan nasi atau lontong, melainkan pisang 
goreng. Harga pisang gorengnya Rp 10.000 per porsi. Pisang goreng 
ala Afrika ini, tentu saja, berbeda dengan pisang pontianak yang 
sedang ngetren itu. Kalau pisang pontianak penuh diselimuti tepung 
dan gula, maka pisang afrika digoreng apa adanya; hanya dibubuhi 
sedikit garam. Alhasil, rasa manis dan asin pada pisang akan bertemu 
dengan rasa gurih dari daging domba. 
 
Rasanya? Coba saja sendiri. Haji Ismail memasang harga Rp 35.000 
untuk seporsi sate daging domba. Untuk sate jeroan, seperti jantung, 
hati, atau ginjal, harganya Rp 30.000 seporsi. Setiap hari, kecuali 
hari Minggu, Haji Ismail membuka kedainya pukul 07.00. Tapi, jangan 
buru-buru ngiler mau sarapan sate afrika, karena daging domba baru 
bisa disantap mulai jam 11.00. Maklumlah, proses pemasakan sate ini 
memakan waktu tiga jam. Daging domba yang datang akan langsung 
diolah hari itu juga. Biasanya pukul 14.00 sudah tidak ada daging 
yang tersisa di meja saji Pak Haji. Menurut Haji Ismail, ada banyak 
pelanggan yang enggan datang ke kedainya dan memesan melalui 
telepon. Meski tidak menetapkan uang muka atau syarat pembayaran, 
Pak Haji tidak khawatir yang memesan itu cuma iseng atau malah 
mengemplang. "Setelah jam 13.00 pesanan akan saya jual sendiri. Toh, 
tetap laku," cetus Pak Haji. Dari Sepatu Menjadi Sate Haji Ismail, 
pemilik kedai sate afrika, datang ke Indonesia pada tahun 1998. Di 
kampung halamannya di Mali, Pak Haji berbisnis komponen mobil. Tapi, 
di Indonesia ia menjajal berdagang sepatu. Haji Ismail kulakan di 
Mangga Dua, dengan modal Rp 500.000. Suami dari wanita bernama Nur 
ini menjual sepatu dari hotel ke hotel. Tiap hari paling banter dia 
berhasil menjual dua pasang sepatu saja. "Enggak cukup buat hidup di 
sini," kenangnya. Tapi, Haji Ismail tidak putus asa dan kembali ke 
Mali. Pria berusia 53 tahun ini memang hanya setahun berdagang 
sepatu. Selanjutnya, lelaki berjanggut putih ini memutuskan untuk 
berjualan sate domba. Ia menyadari bahwa sate adalah makanan yang 
digemari di Indonesia. Namun, "Di sini belum ada yang berjualan sate 
domba khas Mali," ujarnya. Dengan modal Rp 5 juta pada tahun 1999, 
Haji Ismail membuka kedai sate. Modal tersebut habis untuk menyewa 
tempat dan membeli alat masak. Mulanya ia berdagang sate domba di 
salah satu sudut bangunan Indonesia Power. Karena lahannya sempit, 
dua tahun kemudian Haji Ismail pun memutuskan untuk pindah ke 
lokasinya yang sekarang. "Parkirnya luas, asap pun enggak masalah,".

Kiriman: Agus Ramada S.
Direktur Utama Eka Agro Rama



Kirim email ke