Investasi Sawit di Kalimantan Macet Investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan stagnan. Lahan perkebunan yang tersedia tidak tergarap karena hampir
seluruh hak guna usaha atau HGU lahan dikuasai sejumlah pengusaha, yang justru menelantarkan lahan itu setelah selesai dikonversi dari lahan hutan menjadi lahan perkebunan. "Padahal, banyak investor asing yang mau masuk ke sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Akan tetapi, investasi tidak bisa dilakukan karena hampir semua lahan yang diminati ternyata sudah berstatus HGU. Untuk konversi lahan hutan lainnya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama," kata Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang dalam pertemuan gubernur se-Kalimantan dengan Menteri Kehutanan MS Kaban, Senin (12/3) di Jakarta. Teras Narang meminta pemerintah untuk mengaudit semua lahan telantar yang berstatus HGU. Menurut dia, jika memang lahan itu sengaja ditelantarkan, sebaiknya status HGU dicabut dan status kepemilikan tanah dikembalikan kepada pemerintah. Dengan demikian, jika ada investor yang masuk, lahannya benar-benar tersedia. Menanggapi hal itu, MS Kaban mengatakan, pencabutan status HGU bukan kewenangan Departemen Kehutanan, melainkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Meski demikian, Departemen Kehutanan mendukung upaya tersebut agar areal lahan telantar bisa benar-benar dimanfaatkan untuk perkebunan. Kaban menjelaskan, Departemen Kehutanan sudah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan pemberian izin konversi lahan hutan produksi menjadi lahan perkebunan di Kalimantan. "Bahkan, tidak hanya di Kalimantan, tetapi di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Papua," ujar Kaban. Data Departemen Kehutanan sampai bulan Desember 2006 menunjukkan adanya pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan di Kalimantan seluas 4,3 juta hektar. Dari luas lahan yang dikonversi tersebut, lahan yang terealisasi menjadi perkebunan seluas 373.303 hektar. Sementara luas lahan yang belum termanfaatkan 3,9 juta hektar. Kaban mengatakan, selain bekerja sama dengan BPN, audit lahan telantar berstatus HGU juga harus melibatkan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Hal itu penting agar pengelolaan lahan ke depan bisa disesuaikan dengan rencana tata ruang nasional. Perubahan kawasan hutan Teras Narang menambahkan, agar revisi Rencana Tata Ruang Provinsi bisa segera selesai, pihaknya mengusulkan agar proses penetapan perubahan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan dapat dipercepat karena perubahan kawasan hutan dianggap sah apabila sudah ada keputusan Menteri Kehutanan. Menurut Teras Narang, dalam revisi Tata Ruang diarahkan agar kawasan hutan minimal 60 persen dari luas wilayah Kalimantan Tengah. "Selain itu, proses pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan, transmigrasi, dan lain-lain juga harus dipercepat agar pembangunan daerah tidak terhambat," ujarnya. Para gubernur di Kalimantan juga meminta pemerintah agar kewenangan pemberian izin masuk kawasan hutan dan izin masuk alat berat bagi kegiatan eksplorasi pertambangan dilimpahkan kepada mereka selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Menanggapi hal itu, Kaban mengatakan, izin masuk kawasan hutan tetap berada di pemerintah pusat. Izin eksplorasi pertambangan diberikan jika perusahaan memenuhi persyaratan. "Perizinan akan lebih mudah jika sudah ada koordinasi dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral," kata Kaban. (OTW) Jakarta, Kompas - Selasa, 13 Maret 2007