Kakao fermentase lebih diserap pasar 

JAKARTA: Terbatasnya pasar kakao dunia untuk jenis nonfermentasi 
menuntut peningkatan kualitas kakao di Tanah Air menjadi fermentasi 
agar dapat terserap pasar global dalam waktu dua sampai empat tahun 
kedepan. 

Peningkatan kualitas kakao itu terkait dengan bertambahnya produksi 
dalam negeri sekitar 600.00 ton pada tahun ini, sementara pasar 
dunia yang hanya sekitar 500.000 sampai 600.000 ton per tahun. 

"Pasar kakao dunia sebanyak 3,3 juta ton per tahun, sementara yang 
nonfermentasi hanya 20% dan itu yang mengisi Indonesia. Jika lebih 
dari kuota dunia otomatis menuntut pengolahan agar bisa terserap 
pasar," kata Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Halim A. Razak 
kepada Bisnis kemarin. 

Menurut dia, produksi kakao dalam negeri akan meningkat menjadi tiga 
kali lipat dalam jangka waktu dua sampai empat tahun ke depan. 
Kelebihan kuota pasar dunia tersebut, katanya, memaksa kalangan 
petani maupun industri untuk mengolah menjadi terfermentasi. 

"Kakao produksi dalam negeri akan kelebihan 200.000 sampai 300.000 
ton pada empat tahun kedepan," tandasnya. 

Selama ini, paparnya, kakao Indonesia hanya terserap industri powder 
(bubuk) untuk campuran pengolahan coklat di beberapa negara dunia, 
seperti AS, Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia. "Ini kan 
merugikan, karena perbedaan harganya lumayan tinggi." 

Sebenarnya, ungkapnya, pasar dunia (khususnya Eropa) sudah melirik 
biji kakao dalam negeri karena kualitasnya. "Kakao lain [negara] 
jika dimasak pada suhu tertentu sudah mendidih, tapi kakao kita 
tidak, sehingga banyak importir yang melirik," tuturnya. 

Sebaiknya, tambahnya, ditingkatkan kualitasnya agar bisa merambah 
Eropa. "Bukan hanya Malaysia, Singapura dan AS yang hanya mengolah 
saja," tegasnya. 

Secara terpisah, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) M. 
Hasyim menyetujui pengolahan kakao dengan cara fermentasi. "Tapi, 
selama ini pedagang dalam negeri selalu membeli kakao fermentasi 
sama harganya dengan yang tidak, sehingga petani malas 
memfermentasi," ujarnya. 

Pedagang tersebut, paparnya, langsung mendatangi petani di kebun 
untuk menjualnya dengan harga sama, sehingga pedagang tersebut 
mengambil keuntungan dari pengolahan fermentasi. 

Dia mencontohkan misalnya harga kakao Rp10.000/kg sementara harga di 
pabrik pengolahan Rp11.500/kg, pedagang berani membeli harga yang 
sama. "Padahal harga dunia tinggi," jelasnya. 

Dia berharap setelah adanya peningkatan produksi bisa mempengaruhi 
para petani untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas biji kakao di 
dalam negeri. 

Saat ditanya mengenai buruknya cuaca dan banjir yang melanda kota 
Jakarta, menurut Hasyim, tidak memengaruhi distribusi dan harga 
kakao dalam negeri. 

Dia menjelaskan bahwa saat ini perkebunan kako sedang berbunga, 
sehingga tidak terpengaruh dalam distribusi pemasaran. "Justru 
dengan datangnya hujan membuat biji kakao berbunga dan bunganya 
tidak rontok karena hujan lebat," katanya.(ln) 

oleh : Hendri Tri Widiasworo

SUMBER: bisnis.com
Kamis, 08/02/2007 10:48 WIB

Kirim email ke